Kamis, 19 Juli 2012

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA


 
BUDAYA DAN KEPRIBADIAN MANUSIA

A.    BUDAYA DAN KEPRIBADIAN
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial sekaligus ranah individual.
Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnyadan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan incidental. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
      Pada ranah individual adalah karena budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan untuk selanjutnya saling memberi pengaruh. Pada perkembangan selanjutnya ketika sudah terbentuk budaya, setiap indiovidu secara hakikat adalah agen-agen budaya yang member keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar.
      Budaya memberi pengaruh pada kehidupan individu lebih dari sekedar perilaku semata, terlihat hubungan yang sangat dekat sekali antara budaya dengan beberapa konsep-konsep dasar psikologi khususnya kkonsep-konsep yang membangun entitas psikologis seorang manusia, yaitu : kepribadian dan konsep diri.


B.     KEPRIBADIAN DALAM LINTAS BUDAYA
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi acuan dari pola piker, perasaan dan perilaku individu manusia, serta bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut. Dimana merupakan aspek inti keberadaan manusia yang karena tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk sosial.

1.      Definisi Kepribadian
Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam budaya dalam member definisi kepribadian. Dalam literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relative abadi (Matsumoto, 1996). Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu : kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency) (Phares, 1991).
Semua definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan iteraksi (Matsumoto, 1996).
Tokoh Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya meyakini bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan kebutuhan Maslow tersebut diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal, begitupun dengan apa yang dimaksud aktualisasi diri.
Budaya Timur (East Cultures) melihat kepribadian adalah kontekstual (contrxtualization). Kepribadian cenderung berubah, seberapapun besarnya, untuk menyesuaikan dengan konteks dan situasi (Matsumoto, 1996).

2.      Kandungan Teori Kepribadian
Fenomena kedua yang menunjukkan hubungan antara budaya dengan kepribadian adalah masalah antecedent, atau latar belakang kondisi sosial budaya dimana suatu teori dibangun, yang mempengaruhi bagaimana isi dan suatu teori dibangun.



3.      Metodologi dan Cara Pengukuran
Banyak sekali kesulitan dan bias yang timbul ketika dilakukan studi-studi dalam ranah psikologi lintas budaya. Persoalan bahasa salah satunya, dimana telah banyak penelitian mengenai bahasa menunjukkan bahwa penggunaan multilingual (peneliti dan subjek penelitian memiliki bahasa yang berbeda) member respon yang berbeda terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam tes kepribadian (Matsumoto, 1996).
Akibat banyaknya alat-alat tes kepribadian dikembangkan oleh peneliti-peneliti dari Amerika-Eropa yang sudah tentu tidak akan lepas dari pengaruh budaya Amerika-Eropa sangat mungkin stimulus maupun standar norma dan interpretasi dari alat-alat psikotes tersebut menjadi kurang mampu diterapkan bagi pengukuran kepribadian individu-individu yang dating dari budaya non-western.

4.      Locus of Control
Sebuah konsep yang dibangun oleh rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar control diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control external melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka, sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Penelitian yang mengkaji locus of control menemukan banyak hal menarik mengenai kesamaan ataupun perbedaan dalam konteks lintas budaya. Dyal (1984, dalam Berry, 1999) melakukan kajian besar yang menggali deskripsi locus of control antara kulit hitam Amerika dengan kulit putih Amerika. Penemuan mengemukakan bahwa orang kulit hitam lebih eksternal dibanditngkan dengan orang kulit putih. Yang disebabkan oleh perbedaan status sosiolekonomi,status sosialekonomi yang rendah cenderung sejalan dengan letak kendali eksternal, dibandingkan sebabfaktor-faktor genetik.
Locus of control seringkali dihubungkan dengan karakter-karakter kepribadian. Pada 1974, McGinnes dan Ward (dalam Berry, 1999) menguji ulang temuan ini dan menemukan ketidakhadiran hubungan yang diharap terjadi pada responden Selandia Baru, bahkan ditemukan hubungan yang berlawanan di Australia.
Sejumlah penelitian mengenai profil kepribadian antar budaya juga banyak dilakukan yang dalam pengukurannya menggunakan alat-alat tes semacam Minnesota Multhiphasic Personality Inventory (MMPI) dan Eysenck Personality Questionnaire (EPQ).
EPQ membedakan faktor kepribadian dalam empat area, yaitu pschoticism, extroversion, neuroticism dan social desirability. Skor pada empat faktor telah dihubungkan dengan berbagai antesedent sosial dan politik sampai faktor iklim.
Meskipun demikian tampaknya penelitian-penelitian serupa yang menggunakan alat-alat psikotes konvensional dianggap tidak memberikan gambaran yang memuaskan mengenai kepribadian dalam lintas budaya(Matsumoto, 1996).
Selain itu penggunaan alat tes yang tidak melalui penelitian adaptasi, sebagaimana didiskusikan di kolom contoh, sangat mungkin memberikan hasil yang bias. Interpretasi standar yang dibangun yang dibangun dalam nilai-nilai masyarakat Eropaperlu dipertanyakan apakah dapatditerapkan untuk interpretasi masyarakat budaya lain.


C.    BUDAYA DAN PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakteryang lebih jelas dan matang. Hasil penelitian ternyata menunjukkan temuanyang berbeda. Perdebatan diawali oleh Gautman (1976, dalam Price, 2002) yang menyatakan bahwa sesungguhnya ada sebuah keurutan (sequence) yang universal dalam perkembangan kepribadian manusia.
Untuk membuktikankeyakinannya, Gutman melakukan perbandingan study pada orang-orang dewasa dari Indian Maya Meksiko. Ia mengambil subjek paralelaki dewasa dari suku ini, yang usianya berkisar antara 30 hingga 90 tahun. Gutman memfokuskan penelitiannya pada pandangan para responden mengenai masa depan dan bagaimana peran seharusnya dari seorang tua.
Pertanyaan yang diajukan adalah apakah yang membuat mereka bahagia. Kesimpulan umum ditarik Gutman dari serangkain penelitiannya adalah adanya perubahan-perubahan kepribadian ditinjua dari semakin bertambahnya usia dimana perubahan-perubahan tersebut ditemukan sama antara responden Amerika dengan responden Indian Maya. Semakin bertambahnya tua seseorang tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengara ke luar (eksternal).

D.    BUDAYA DAN INDIGENOUS PERSONALITY
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality. Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.
Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam  bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia Jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa.Rasa ini terbagi atas tiga,yaitu: rasa subjek, rasa objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu rasa hidup.
Penguasaan dan pengendalian terhadap pikiran untuk membuatnya tertuju pada satu obyek, dengan mengalihkan indera dari obyek-obyek kenikmatan (badaniah) dan bertahan dalam penderitaan merupakansatu-satunya jalan mencapai diri terdalam. Sebaliknya,dalam budaya timur, kebertalian, kesalingterhubungan dan saling ketergantungan merupakan landasan konsep diri yang tak terpisah dan selalu terkait dengan orang lain dan lingkungan luar. Pribadi dilihat sebagai sebuah “keseliruhan” dari individu dengan unit sosialnya.

E.     BUDAYA DAN KONSEP DIRI
1.      Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah oganisasi dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga prinsip.
Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu (hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya) pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.
Dalam masyarakat barat, diri dilihat sebagai sejumlah atributinternal meliputi: kebutuhan, kemampuan, motif dan prinsip-prinsip. Setiap individu membawa atribut-atributtersebut dan menggunakannya sebagai pemandu dalam setiap tindakan dan pikirannya didalam setiap situasi sosial yang berbeda.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self dan Interdependent Construal of Self.
2.      Diri Individual
Diri individual adalah diri yangfokus pada atribut internal yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang tergantung (Independent Construal of Self).
Dalam kerangka  budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan oranglain.
3.      Diri Kolektif
Buadaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Individu fokus pada status keterakitan mereka dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal.
Antar satu individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif, derajatnya antar individu adalah tidak sama.
4.      Pengaruhnya terhadap Persepsi Diri
Beberapa studi yang dilakukan oleh Bond & Tak-Sing (1983), dan Shweder dan Bourne (1984) telah menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi  diri. Dalam studinya yang membandingkan kelompok Amerika dengan kelompok Asia, mereka meminta subyek penelitian untuk menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak dibandingn subyek Asia yang cenderung memberikan respon situasional.
Konsiten dengan analisis diatas, Triandis dan rekan (1989) mengadakan penelitian serupa yang hasilnya bahwa responden Asia (Cina, Jepang dan Korea) lebih memberikan respon yang sifatnya kategori hubungan sosial. Ini merupakan indikasi kuat bahwa dalam kelompok budaya Asia hubungan dengan orang lain menempati bagian penting dalam konsep diri mereka.
5.      Pengaruhnya pada Social Explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu-invidu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil semacam: sifat kepribadian, sikap dan kemampuan akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Kesalahan dalam pengambilan kesimpulan mengenai perilaku orang lain yang didasari asumsiatribut internal ini disebut fundamental attribution error (Ross dalam Matsumoto, 1996).
Fundamental attribution error ini ditemukan tidak terjadi pada individu-individu dengan latar budaya konsep diri kolektif. Budaya diri kolektifmemandang perilaku individu adalah tergantung dan ditentukan oleh faktor situasional.Sebagai hasilnya, individu-individu dari budaya diri kolektif ini cenderung menjelaskan perilaku orang lain dalam kerangka faktor situasional daripada faktor internal.
6.      Pengaruhnya pada Motivasi Berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya (Feldman, 1999). Dalam teori Motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-Clelland manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasisi kebutuhan, yaitu: berprestasi, berafiliasi atau menjalain hubungan, dan berkuasa. Diantara ketiganya yang paling utama adalah kebutuhan berprestasi (Mc-Clelland, 1985).
Dalam komunikasi budaya dimana konsep diri condong dilihat sebagai baian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, utamanya orang-orang dekat.
Yang (1982, dalam Matsumoto, 1996) membedakan dua bentuk dari motivasi berprestasi yang berorientasi individual dan yang berorientasi sosial. Motivasi berprestasi yang berorientasi individual umumnya ditemukan pada masyarakat budaya sebagian Eropa dan Amerik. Di masyarakat Cina, sebaliknya motivasi berprestasi dengan orientasi sosial ditemukan lebih umum dibandingkan yang berorientasi individual.
7.      Pengaruhnya pada Peningkatan Diri ( Self Enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri ataupun kepuasan diri.
Untuk menguji pengaruh perbedaan budaya dalam memandang diri, Markus dan Kitayama  (1991, Matsumoto 1996) melakukan serangkaian  penelitian terhadap pelajar-pelajar Amerika dan Jepang. Pertanyaan yang diajukan adalah: berapa proporsi rekan mahasiswa responden di universitas tersebut yang memiliki kemampuan lebih baik diatas dirinya.Hasil menunjukkan bahwa pelajar Amerika secara rata-rata mengganggap 30% dari rekan mahasiswamereka yang memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan diri mereka. Sebaliknya, pelajar Jepang menaksir bahwa ada 50% dari jumlah keseluruhan rekan mahasiswa mereka yang memiliki kemampuan lebih baik dari pada mereka.
8.      Pengaruhnya pada Emosi
Emosi dapat diklasifikasikan atas arah hubungan sosial dari emosi, yaitu apakah emosi tersebut akan mengarahkan pada pemisahan diri dengan lingkungan yang akan mengarahkan pada keterhubungan dengan orang lain dan lingkungan luarnya atau dikenal sebagai socially engaged emotions.








Ciri-Ciri Nilai Masyarakat Indonesia
Ciri-ciri nilai sosial:
·         Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang terciptamelalui interaksi sosial,
·         Nilai sosialbukan bawaan dari lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi, dijadikan milik diti melalui internalisasi dan alan mempengaruhi tindakan-tindakan penganutnya dalm kehidupan sehari-hari didasari atau tanpa didasari lagi (enkulturasi),
·         Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
·         Nilai sosial bersifat relative,
·         Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
·         Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
·         Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
·         Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
·         Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
Masyarakat tradisional alamiah terbentuk berdasarkan pada nilai sosial budaya asli bangsa Indonesia. Kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia mengikuti perkembangan zaman yang ada. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia menerima dengan terbuka unsur-unsur yang datang dari luar, secara tidak langsung pengaruh budaya luar yang masuk ke Indonesia akan sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi bangsa, karena budaya asli bangsa berbeda dengan budaya luar yang masuk ke Indonesia.
          Nilai tradisional masyarakat perlahan mengalami kepunahan yang tak mampu bersaing dengan derasnya publikasi budaya modern dalam konteks pergaulan masyarakat. Beberapa dampak yang dirasakan adalah denga n menurunnya rasa sosial dan tenggang rasa masyarakat, mengikisnya semangat kebhinekaan yang mengarah pada disintegrasi bangsa dan pelanggaran hukum juga pola hidup indiidualisme dan konsumerisme yang bertentangan dengan sikap hidup sederhana.